Tradisi yang di Rindukan Masyarakat Ranah Minang

Senja Ramadhan terakhir mulai tenggelam dan kita bersiap menyambut datangnya sinar mentari di hari yang fitri. Selama 30 hari sudah umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan suasana yang berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Berbuka bersama teman dan kerabat, shalat tarawih dan witir berjamaah di masjid, tadarus Al Quran adalah hal yang paling dirindukan namun tak dapat ditunaikan maksimal akibat pandemi Covid-19 pada Ramadhan tahun ini.

Selepas magrib, kumandang takbir pertanda hari kemenangan telah tiba, juga tak semeriah Lebaran sebelumnya. Malam takbiran juga tak semeriah biasanya. Tak ada tabiran keliling yang membuat hari raya kian semarak. Biasanya sebelum lebaran para perantau pun sudah pulang ke kampung halaman mereka, tapi sekarang pun tidak banyak yang terlihat.

Karena dampak pandemi Covid-19 dirasakan perantau, tak hanya dihadapkan pada pilihan tidak bisa mudik saat libur Lebaran, melainkan juga harus berjuang bertahan hidup tanpa sanak keluarga selama pandemi Covid-19. Idul Fitri yang seharusnya dijadikan momen berkumpul bersama keluarga serta melepas penat setelah setahun mengumpulkan pundi-pundi penghasilan dan melaksanakan pendidikan pun terkubur sementara.

Di Minangkabau penduduknya merantau bukan hanya disebabkan karena faktor ekonomi atau permasalahan ekonomi saja, tetapi juga karena tradisi atau kebu-dayaan yang masih dipercaya dan dilakukan hingga sekarang. Pulang kampung basamo, menggaleh, dan sebagainya. Merantau merupakan suatu budaya yang identik dengan masyarakat Minangkabau. Hampir diseluruh dunia merupakan tujuan rantau mereka.

Marantau dalam tradisi Minangkabau dipercaya timbul karena adanya sistem Matrilineal, yang dipertahankan smapai sekarang. Memberikan harta pusaka tau hak waris kepda pihak perempuan, Laki-laki hanya memiliki hak kecil. Inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Namun sekarang ini perempuan minang juga telah banyak pergi merantau.

Pepatah Minang mengatakan “karatau tumbuah dihulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, dirumah baguno alun”. Pepatah ini menegaskan bahwa anak laki-laki yang masih bujangan atau belum menikah tidak mempunyai peranan atau posisi dalam adat. Karena dianggap belum memiliki pengalaman, sebab itu lah harus mencari pengalaman dengan cara pergi merantau. Bahkan ada orang tua yang memaksa anaknya untuk merantau sejauh-jauhnya dari wilayah Minangkabau sebab ada pandangan bahwa semakin jauh tempat perantauan, maka pengalaman hidup yang didapatkan juga semakin banyak sehingga si anak semakin berguna dalam masyarakat ketika ia kembali.

Selanjutnya keterbatasan tingkat pendidikan di daerah Minang memaksa orang-orang untuk merantau keluar, dimana pendidikan sangat penting di Minangkabau terutama agama Islam, adanya hukum “adat basandi sara’, sara bsandi kitabulah”, yang mempertegas masyarkat Minang harus menguasai pengetahuan dalam Islam.

مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبُ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ

Artinya : ”Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang”. (HR. Turmudzi)

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Artinya : ”Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari suatu ilmu. Niscaya Allah memudahkannya ke jalan menuju surga”. (HR. Turmudzi)

Dan berlelah-lelahlah karena sesungguhnya nikmat hidup itu didapat saat kita berlelah-lelah. Tapi pada saat pandemi ini kebahagiaan anak yang telah lama tak berjumpa orang tua, kakek bertemu cucu, keponakan bersalaman dengan paman juga tak dapat dirasakan pada hari raya tahun ini. Namun ada pengalaman baru yang dirasakan tidak perlu kemana-mana tapi hanya dengan duduk manis di depan telepon pintar dan laptop.

Lebaran kali ini berbeda dengan lebaran sebelumnya dimana kita tidak bisa berjumpa keluarga besar, Biasanya selalu menyantap menu istimewa di hari raya dengan makan Bajamba untuk sanak saudara yang bersilahturrahmi. Rendang adalah menu wajib yang selalu hadir, tak lupa lemang serta kue-kue tradisional lainnya yang hanya dijumpai saat lebaran. Tapi sekarang hanya memasak seadanya karena keluarga diperantauan terjebak pandemi.

Biasanya saat lebaran Minangkabau banyak melakukan tradisi-tradisi yang dari tahun ketahun selalu di laksanakan yaitu Manambang Tradisi ini khas Padang dan selalu dinantikan oleh setiap anak. Dilakukan setelah sholat idul fitri, anak-anak bergerombol datang kerumah warga, bersilaturrahmi yang nnatinya mendapat tunjangan hari raya dari setiap rumah yang disambangi. Tradisi ini melatih anak-anak berelasi dengan orang lain, perasaan hormat pada tetangga kanan dan kiri terutamanya.

Tapi dengan adanya pandemi ini kita tidak bisa melaksanakan semua tradisi-tradisi yang biasa kita lakukan saat bulan ramadhan dan hari raya idul fitri, ini semua dilakukan agar tidak adanya kerumunan, yang bisa mengakibatkan terjadinya penyebaran Covid-19 yang saat ini masih bertambah. Kita berharap dengan situasi ditengah pandemi ini dengan segala keterbatasan pelaksanaan prtokol Covid-19 tidak mengurangi nilai-nilai budaya dan jalinan silaturrhami masyarakat baik di ranah Minangkabau maupun di rantau. Saat ini bukan berarti rasa silaturahmi yang terjalin baik selama ini terputus namun dengan tetap berada di rumah karena bisa memanfaatkan teknologi. Lebaran kali ini memang berbeda namun silaturahmi tetap berjalan dengan cara yang berbeda dan selalu ada hikmah yang bisa diambil sembari berharap pandemi ini segera berakhir. (MS/MAS)

Penulis Merlin Safitri

Mahasiswa Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga 2019