DESA TAMIDUNG DAN KEARIFANNYA

Desa Tamidung bisa disebut desa petani yang mana terdapat beberapa dusun disana dan salah satunya adalah Dusun Togu, Dusun Panabasen, Dusun No’om, Dusun Mujung, Dusun Laok Songai, Dusun SP Timur dan SP Barat. Jumlah masyarakat sekitar 3000± penduduk yang terbilang memiliki sumber daya alam yang melimpah di sektor perkebunan, pertanian dan peternakan (sapi, ayam dan bebek). Salah satu penghasil komoditas perkebunan adalah siwalan, pisang dan kelapa. Potensi siwalan di desa ini digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula aren dan pisang hanya di olah menjadi kripik pisang dan tidak ada inovasi pembuatan produk lain yang berbahan dasar dari buah siwalan dan pisang.
Desa ini terdapat beberapa elemen masyarakat yang memiliki peran masing-masing diantaranya masyarakat tani, guru, pengurus atau perangkat desa, BUMDES, dan Pemuda Tamidung. Akan tetapi desa ini termasuk desa yang sebagian besar penduduknya masih tabu terkait pentingnya pengetahuan yang lebih tinggi dan masih sangat kuat dalam memegang tradisi menikahkan anaknya di usia dini sehingga banyak potensi alam yang tidak dikelola dengan baik yang mengakibatkan perekonomian mereka tidak pernah berkembang. Masyarakat desa ini tergolong pada desa yang masih menggunakan sistem lama dalam kehidupan bersosial dan berbudaya.
Terkait pendidikan, ada beberapa tempat pendidikan yang berdiri disana diantaranya ada gedung SD, sekolah Swasta dari tingkat MI-MA dan sekolah diniyah atau TPA sore. Selain itu ada beberapa sarana dan prasarana masyarakat desa diantaranya masjid, musholla, tempat Kesenian/Budaya, Puskesmas, Posyandu, Sumur Pompa, Sumur Gali, Tangki air bersih.
Kondisi sosial kemasyarakatan cukup baik, karena menggunkan sistem lama. Cara hubungan antara yang satu dengan yang lain sangat erat, mereka kental dengan budaya lama, misalkan budaya gotong royong dalam berbagai apapun. Misalkan dalam pembuatan rumah, masyarakat desa Tamidung hanya sedikit saja yang menggunakan para pekerja bayaran, karena tetangga-tetangga tanpa diminta ikut membantu secara meramaikan penyelesaian pembuatan rumah tersebut.
Dalam hal budaya, masyarakat Tamidung memikiki tradisi yang sangat beragam dalam hal perayaan atau hajatan lainnya seperti ketika ada yang naik haji, masyarakat Tamidung melakukan ngaji bersama di rumah orang yang sedang naik haji. Adapun dalam perayaan pernikahan, masyarakat Tamidung memiliki sistem Tengka yang mana dalam hal ini , ketika ada masyarakat yang menikah, serempak mereka memberi sumbangan kepada tuan rumah yang kemudian sewaktu-waktu ia harus memberikan hal yang serupa ketika orang yang memberi tersebut mempunyai hajatan.
Dalam hal Keagamaan, masyarakat sangat kental akan tradisi lama dengan 99% mayoritas beragama Islam. Banyak sekali kegiatan keagamaan rutinan yang terus dilakukan bersama hingga saat ini. Seperti sholat subuh berjamah, shalawatan malam jumat bahkan khataman al-quran Jumat pagi.
Dalam segi perokonomian, Masyarakat Desa Tamidung berprofesi sebagai petani, peternak, pengrajin anyaman bambu, pedagang, pegawai negeri/swasta dan sebagian merantau ke kota besar lainnya di Indonesia dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan. Pertanian di Desa Tamidung cukup baik, rata-rata mereka menanam padi, jagung serta kacang-kacangan bila musim hujan. sedangkan datang musim kemarau rata-rata mereka menanam tembakau dan memanen pohon Siwalan (Gula Merah).
Selain itu, Desa Tamidung kaya akan pohon pisang. Hampir tiap rumah memiliki pohon pisang sendiri. Akan tetapi yang menjadi problem utamanya adalah masyarakat Desa Tamidung tidak memanfaatkan atau mengolah hasil panen dari pohon pisangnya tersebut. Mereka hanya menjual hasil panen mereka ke pengepul untuk dijual di pasar. Padahal jika diolah menjadi suatu produk seperti keripik pisang misalnya, yang hal itu dapat memberi keuntungan untuk desa.
Dalam Segi Pendidikan, Desa Tamidung bisa dikatakan sudah lumayan baik, sudah terdapat peningkatan mutu pendidikan. Akan tetapi terdapat sebagian masyarakat desa yang tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang paling tinggi terutama bagi perempuan. Hal itu dikarenakan tradisi Nikah Dini di Desa Tamidung serta kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan sehingga untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya menjadi sulit. (AM)